Senin, 11 Maret 2019

Manajemen RTF Makalah Analisis


Makalah analisis
Analisis Program Siaraman Qolbu di MNCTV dengan Metode Pengobatan Ustad Danu

  


A.    Pendahuluan
Program siaran siraman qolbu merupakan metode  pengobatan Islami yang di pandu oleh host, Irfan Hakim dan Ustadz Dhanu. Program ini menghadirkan dari berbagai kalangan dengan permasalahan masing-masing. Program ini berkonten: syiar dan pengobatan islami, praktek pengoobatan, telepon interaktif, dan testimoni narasuber.
Urgensi dari program siraman qolbu peneliti ingin mengetahui metode ustad dhanu dalam mengobati pasien, terlebih program ini berkonten syiar dalam metoode pengobatan Ustadz Dhanu. Sehat dalam Islam bukan hanya merupakan sesuatu yang berhubunngan dengan masalah fisik, melainkan juga secara psikis. Namun demikian, semua penyakit di dalam tubuh manusia pada dasarnya adalah hasil perbuatan manusia itu sendiri sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran surat Asy-syura: 30 yang artinya,”Dan apa musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar(dari kesalahan-kesalahanmu).”
B.    Definisi operasional
Pengertian metode adalah suatu proses atau cara sistematis yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dengan efisiensi, biasanya dalam urutan langkah-langkah tetap yang teratur. Kata metode (method) berasal dari bahasa Latin dan juga Yunani, methodus yang berasal dari kata meta yang berarti sesudah atau di atas, dan kata hodos, yang berarti suatu jalan atau suatu cara.
Metode secara harfiah menggambarkan jalan atau cara suatu totalitas yang akan dicapai atau dibangun. Mendekati suatu bidang secara metodis berarti memahami atau memenuhinya sesuai dengan rencana, mengatur berbagai kepingan atau tahapan secara logis dan menghasilkan sebanyak mungkin hubungan.
Metode dan sistem membentuk hakikat ilmu. Sistem bersangkutan dengan isi ilmu, sementara metode berkaitan dengan aspek formal. Lebih tepat, sistem berarti keseluruhan pengetahuan yang teratur atau totalitas isi dari ilmu.
Pengertian Program Siaran - Output setiap stasiun penyiaran adalah satu tayangan di layar kaca pesawat televisi yang tersusun rapi dalam urutan yang teratur, yang disebut program acara. Program sebagai benda abstrak yang berfungsi memuaskan batiniah, sehingga yang dirasakan oleh khalayak pemirsa diekspresikan sebagai penilaian objektif, yaitu bagus atau kurang bagus acaranya.
Ustadz Danu adalah salah seorang yang berhasil menemukan  titik temu antara penyakit jiwa (akhlak yang kurang terpuji) dan penyakit jasmai (fisik/badani) pada manusia. Ia merumuskan bahwa penyakit dalah indikator adanya sebuah ketimpangan akhlak pada diri manusia baik disadari maupun tidak disadari oleh orang tersebut. Akhlak-ahlak yang kurang baik tersebut biasanya selalu dilakukan berulangulang yang lambat laun akan menjadi kerak di dalam hatinya sehinga hatinya tumpul dan berpenyakit. Menurut Ustadz Danu, penyakt tersebut dibahasakan sebagai “teguran Allah” kepada pelakuNama lengkap Ustadz Danu adalah Ir. Djoko IsmanuHerlambang. Ia dilahirkan di Pati pada tanggal 4 Deseber 1964 dan sekarang berdomisili di Sleman, Yogyakarta. Ia aluni teknik sipil UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta. Ir. Doko Ismanu Herlambang kemudian lebih akrab dipanggil Ustadz MasDhanu. Selama bertahun-tahun ia mempelajari, memperdalam dan mempraktikan isi Alquran dan Assunnah, sehingga dari sanalahAllah swt memberikan kepahaman kepadanya, menemukan hubungan yang erat antara sakit dengan akhlak seseorang2eramah Ustadz Danu sangat menarik untuk dikaji karena mtode yang digunakan untuk menyembuhkan pasien, yakni meode psikoterapi (terapi psikologis).
C.    Rumusan masalah
Pengobatan dengan psikoterapi memunculkan persoalan bagaiana pengaruh akhlak terhadap kesehatan menurut Ustad Danu, agaimanakah psikoterapi dapat menyembuhkan berbagai penyaki, dan adakah peran sugesti dalam penyembuhan berbagai penyakit.
D.    Penyakit dan Kesehatan
pada prinsipnya semua penyakit muncul akibat seseorang sering mengumbar hawa nafsu sehingga Allah menurunkan azab atau peringatan agar manusia kembali ke jalan yang benar yaitu Alquran dan Sunah Rasul. Nafsu akan menyebabkan timbulnya penyakit hati dan penyakit fisik. Dasar hubungan nafsu dan penyembuhan penyakit ada dalam firman Allah surat Yunus 57:
“Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa Allah menurunkan Alquran (pelajaran) dengan tiga fungsi yaitu sebagai penyembuh penyakit yang ada dalam dada (hati), petunjuk, dan rahmat bagi orang yang beriman. Di sini pengertian Alquran sebagai penyembuh penyakit yang ada dalam dada bukan bearti secara langsung ayat-ayat Alquran atau bacaan ayat-ayat Alquran dapat menyembuhkan penyakit-penyakit fisik yang ada dalam dada seperti sesak nafas, TBC, jantung koroner dan lain-lain, melainkan yang dimaksud adalah sumber-sumber penyebab datangnya penyakit-penyakit berasal dari hati yang ada dalam dada manusia. Dalam hati manusia Allah SWT. meletakkan dua hal, yaitu ruh dan nafsu. Ruh akan cenderung membawa manusia tunduk dan patuh kepada firman-firman Allah SWT (nafsu mutmainah), sedangkan nafsu akan cenderung membawa manusia lebih mengikuti kesenangan–kesenangan duniawi belaka tanpa memperhatikan firman-firman Allah. Karena hati merupakan pusatnya nafsu-nafsu yang ada dalam tubuh manusia. Hati akan memerintahkan otak menggerakkan organ tubuh sebagai tempat penyaluran atau keluarnya nafsu-nafsu tersebut. Nafsu-nafsu yang tidak baik ini bila dijalankan selama bertahun-tahun akan menjadi tumpukan kesalahan dan dosa di mata Allah SWT. Allah telah memiliki sistem yang sempurna dalam kehidupan manusia ini yaitu Allah memiliki cara untuk memaksa manusia tunduk patuh kepada firman-firman-Nya agar kembali ke jalan yang benar. Jalan yang benar itu tidak lain adalah Alquran dan Sunah Rasul. Paksaan Allah itu berupa azab atau musibah yang menimpa kita dalam kehidupan sehari-hari. Wujud dari musibah ini misalnya penyakit, kecelakaan, kecurian, dan lain-lain. Karena sifat rahman dan rahim-Nya, Allah menurunkan Alquran sebagai huda (petunjuk hidup) untuk menuntun manusia agar selalu berjalan di jalan-Nya. Manusia manakala dalam hidupnya tidak terbimbing oleh Alquran, maka kehidupannya cenderung akan lebih banyak memperturutkan hawa nafsu daripada hidup menurut Alquran.
Hidup menurut aturan Alquran pada dasarnya adalah hidup dengan cara mengekang atau melawan keinginan hawa nafsu yang selalu akan mengendalikan gerak hati, pikiran, dan langkah manusia. Makin kuat niat seseorang untuk hidup sesuai petunjuk Alquran, maka makin kuat pula kemampuan seseorag untuk melawan hawa nafsu. Hidup dengan menjadikan Alquran sebagai petunjuk akan mengangkat derajat manusia di hadapan Allah swt. sebagai orang yang bertakwa (muttaqien). Dengan memohon kepada-Nya, maka Allah akan menyembuhkan penyakit seseorang sebagaimana AllahSWT berfirman dalam surat Yunus ayat 57, yaitu Alquran sebagai penyembuh penyakit dalam dada, petunjuk, dan rahmat bagi kita yang beriman. Lebih lanjut Ustadz Danu mengatakan bahwa (berdasarkan pengalaman dalam menangani jamaah dan pasien lebih dari 20 tahun dengan ribuan pasien) penyakit yang diderita seseorang biasanya terjadi pada organ tubuh yang tidak difungsikan sesuai dengan tuntunan Allah SWT. Organ yang sakit itu menunjukkan bahwa organ tersebut lebih banyak digunakan sebagai alat atau tempat untuk mengekspresikan nafsu-nafsu daripada digunakan sebagai alat untuk sujud kepada Allah SWT. Setelah selama bertahun-tahun seseorang melakukan kesalahan, maka suatu saat Allah akan menurunkan peringatan kepada kita agar kembali ke tuntunan Alquran. Wujud peringatan atau musibah yang ditimpakan kepada manusia yaitu melalui diberikannya penyakit kepada orang tersbut melalui organ-organ yang sering digunakan sebagai alat untuk mengeluarkan atau mengekspresikan nafsu-nafsunya. Contoh penggunaan organ-organ tubuh untuk menuruti hawa nafsu yaitu:
        ● Mulut sering digunakan untuk berbuat ghibah, berbicara secara emosional, menghujat, mengfitnah, menyakiti hati orang lain, berbohong, dan lain-lain.
         ● Mata digunakan untuk melihat sesuatu yang tidak disukai Allah,
suka memandang rendah orang lain (fisik, perilaku, hasil karya, pemikiran, dan sebagainya).
         ● Telinga tidak digunakan untuk mendengarkan nasihat-nasihat, baik dari orang lain, marah bila mendengarkan sesuatu yang tidak sesuai keinginan kita.
         ● Jantung digunakan sebagai tempat untuk meletakkan atau menyalurkan nafsu sombong, emosi yang meledak, kecongkakan, dan egois.
          ● Hati sebagai tempat meletkkan atau menyalurkan nafsu, merasa paling benar tidak mau menerima nasehat orag lain, dendam, iri, dan dengki.
          ● Otak digunakan untuk memperalat orang lain, berprasangka buruk, merasa apa yang dipikirkan paling benar, dan sering berkhayal yang tidak-tidak.
          ● Ginjal digunakan sebagai tempat untuk meletakkan atau menyalurkan nafsu yang sering membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar.
          ● Tangan sering digunakan untuk mendholimi atau berbuat aniaya tehadap orang lain, baik di kantor maupun di rumah dan tidak menjalankan amanah dengan baik.
          ● Kaki, dalam kehidupan sering digunakan untuk melangkah pada jalan yang menyimpang dari tuntunan Alquran, atau merasa langkah-langkahnya dalam kehidupan merasa benar padahal salah, dan lain-lain.
Dalam menyalurkan nafsu-nafsu tersebut sering menimbulkan masalah bagi orang lain. Jadi ada pihak lain yang terlanggar haknya atau teraniaya atas sikap-sikap seseorang yang kurang terpuji
tersebut, Allah SWT memberikan peringatan keras terhadap orang yang berlaku aniaya atau berani melanggar hak yang menjadi milik orang lain.
Psikoterapi (psychotherapy) adalah pengobatan dan perawatan gangguan psikis melalui metode psikologis. Istilah ini mencakup berbagai teknik yang bertujuan untuk membantu individu dalam mengatasi gangguan emosionalnya, dengan cara memodifikasi perilaku, pikiran, dan emosinya, sehingga individu tersebut mampu mengembangkan dirinya dalam mengatasi masalah psikisnya
Menurut James P.Chaplin, psikoterapi dibagi menjadi dua. Pertama, dalam arti khusus, psikoterapi diartikan sebagai penerapan teknik khusus pada penyembuhan penyakit mental atau pada kesulitan-kesulitan penyesuaian diri setiap hari. Kedua, dalam arti luas psikoterapi mencakup penyembuhan lewat keyakinan agama melalui pembicaraan informal atau diskusi personal dengan guru atau teman.
Menurut Ustadz Danu, tata cara berdoa yang perlu dilakukan seseorang adalah tidak boleh langsung meminta kepada Allah tentang apa yang diinginkan. Adapun tata cara itu adalah sebagai berikut.
● Terlebih dahulu memohon ampun atas salah dan dosa yang pernah dilakukan sejak kecil hingga sekarang. Salah dan dosa yang pernah diperbuat itu ada yang dilakukan secara sengaja maupun yang tidak sengaja, ada salah dan dosa yang termasuk besar maupun kecil, ada salah dan dosa yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Dosa dan kesalahan yang dilakukan paling banyak adalah terhadap orang-orang yang paling dekat, yaitu: orang tua (bapak-ibu), istri/suami, anak, saudara, dan seterusnya.
● Bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah anugerahkan. Seseorang tidak mungkin dapat menghitung berapa banyak nikmat yang Allah telah anugerahkan sehingga manusia wajib mensyukurinya. Karena Allah telah menegaskan “Barang siapa bersyukur maka Allah akan menambah nimatnya, dan barang siapa ingkar, maka sesungguhnya Azab Allah sungguh sangat pedih” (Ibrahim(14):7).
● Yang terakhir baru mengemukakan permohonan kepada Allah tentang apa diinginkan. Dalam kalimat terakhir doa harus menegaskan bahwa bila doa tersebut terkabul maka akan menjadikan orang tersebut lebih sujud kepada Allah SWT. Karena apapun yang Allah berikan kepada manusia pada dasarnya adalah titipan atau amanah dan kelak akan ditanyakan kembali oleh Allah SWT. tentang anugerah/rahmatnya itu. Agar tobat seseorang diterima oleh Allah SWT maka seseorang harus mengikuti persyaratan yang telah Allah gariskan dalam surat Al-Baqarah ayat 160
”Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), Maka terhadap mereka itulah aku menerima taubatnya dan Akulah yang Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang.”
Dari ayat di atas dapat disimpulkan ada tiga hal yang harus dilakukan dalam bertaubat yaitu:
● Memohon ampun atas dosa dan kesalahan yang telah diperbuat secara tulus dan ikhlas.
● Mengadakan perbaikan, artinya tidak mengulangi kesalahan tersebut dan mengimbanginya dengan amal saleh.
● Menyampaikan nasihat kepada orang lain tentang kebenaran (syiar) yang telah diperoleh setelah melakukan perbaikan.

Hal ini dimaksudkn agar orang lain dapat mengambil pelajaran dari dosa dan kesalahan yang diperbuat sehingga mereka tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Jadi, dalam berdoa sebenarnya yang akan diraih adalah ampunan dari Allah SWT atas segala salah dan dosa yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Wujud riil bahwa permohonan ampunannya diterima oleh Allah SWT.adalah dicabutnya azab atau peringatan yang menimpa seseorang, baik berupa penyakit, kesulitan ekonomi, kenakalan anak-anak yang belum aqil baligh, musibah harta, dan sebagainya. Jadi kesembuhan dari penyakit yang menimpa seseorang sebenarnya bukan tujuan, tujuan yang sebenarnya adalah ampunan dari Allah SWT. Sembuh dari sakit sebenarnya hanya sekedar indikator bahwa Allah SWT telah mengampuni sebagian dari salah dan dosa yang telah diperbuat.
E.    Penutup
Pesikoterapi adalah metode penyembuhan dengan menggunakan pendekatan psikologis. Metode psikologi Ustadz Dhanu adalah metode psikoterapi akhlak mulia. Hal ini bertolak pada anggapanataupun keyakinan bahwa suatu penyakit yang menimpa seseorang sebagaai azab atas segala dosa-dosanya karena akhlaknya tercela. Oleh karena itu, untuk menyembuhkan seseorang dengan jalan bertaubat dan memperbaiki akhlaknya.

Senin, 08 Desember 2014

makalah ke ghozalian 1


SEJARAH HIDUP IMAM GHOZALI
MAKALAH  Ke GHOZALIAN











DISUSUN OLEH :
Yuli Kusnanto


INSTITUT AGAMA ISLAM IMAM GHOZALI
 ( IAIIG ) KESUGIHAN 1 CILACAP
2013-2014





KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT karena penulisan makalah ini dapat diselesai kandengan baik. Makalah ini membahas tentang ke Ghozalian dan diharapkan dapat memberi pengetahuan dan menambah wawasan bagi siapapun yang membaca makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini tidak lepas dari peran serta berbagai pihak yang telah memberikan saran, maupun masukan-masukan guna penyempurnaan makalah ini. Untuk itu kami mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya. Akhir kata, kami meminta maaf apabila dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu kami akan berupaya selalu terbuka dan seobjektif mungkin terhadap kritik dan saran yang membangun guna mempertimbangkan di masa-masa yang akan datang.


Cilacap, 20 Oktober 2012
Penyusun        







DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii
BAB I        PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2  Tujuan Penulisan ........................................................................................ 1
BAB II       PEMBAHASAN
A.    Sejarah Hidup Imam Ghozali .................................................................... 2
1.      Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
2.      Kehidupan dan perjalanannya  menuntut ilmu
3.      Penngaruh filsafat dan dirinya
4.      Polemik kejiwaan al ghozali
5.      Masa akhir hidupnya
6.      Karya-karyanya

BAB III     PENUTUP
                   3.1 Kesimpulan ................................................................................................ 9
                  

DAFTAR PUSTAKA






BAB I
PENDAHULUAN
1.1              LATAR BELAKANG
Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.



1.2              TUJUAN PENULISAN
Dari rumusan masalah tersebut di atas maka dapat di ambil tujuan penulisan makalah ini yaitu
1.      Untuk mengetahui sejarah hidup Al-Ghozali



BAB II
PENDAHULUAN
A.   Sejarah Hidup Imam Al Ghazali

1.  Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau

Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.”Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah6/193 dan 194).

1.  Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu

Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.

2.  Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
3.  Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.”(Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
5. Masa Akhir Kehidupannya
            Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalamSiyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).

6.    Karya-karyanya
Nama karya beliau ini diambil secara ringkas dari kitab Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, karya Dr. Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud 2/623-625, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/203-204
Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal ialah:
Pertama, dalam masalah ushuluddin dan aqidah:
1.     Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.
2.     Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
3.     Al Iqtishad Fil I’tiqad.
4.     Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
5.     Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.
Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:
(1) Al Mustashfa Min Ilmil Ushul. Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fiqih. Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalamnya. Dalam kitab ini Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam dalam pernyataannya, “Para ahli ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali memasukkan pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya mencampur adukkannya.” Tetapi kemudian beliau berkata, “Setelah kita mengetahui sikap keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang perlu menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan dari sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar……” (Dua perkataan beliau ini dinukil dari penulis Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 17 dan 18).
Lebih jauh pernyataan beliau dalam Mukaddimah manthiqnya, “Mukadimah ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan juga bukan mukadimah khusus untuknya. Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu. Maka siapa pun yang tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya pengetahuannya.” (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 19).
Kemudian hal ini dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap orang yang akalnya sehat, maka berarti dia itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak para imam yang sama sekali tidak mengenal ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Demikianlah, karena para sahabat juga tidak mengenal ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih baik dari para ahli manthiq.
(2) Mahakun Nadzar.
(3) Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq dan telah dicetak.
(4) Ma’ariful Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.
(5) Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.
(6) Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Telah dicetak.
(7) Mizanul Amal. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.
(8) Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi. Oleh para ulama, kitab ini diperselisihkan keabsahan dan keontetikannya sebagai karya Al Ghazali. Yang menolak penisbatan ini, diantaranya ialah Imam Ibnu Shalah dengan pernyataannya, “Adapun kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, bukanlah karya beliau. Aku telah melihat transkipnya dengan khat Al Qadhi Kamaluddin Muhammad bin Abdillah Asy Syahruzuri yang menunjukkan, bahwa hal itu dipalsukan atas nama Al Ghazali. Beliau sendiri telah menolaknya dengan kitab Tahafut.” (Adz Dzahabi dalamSiyar A’lam Nubala 19/329).
Banyak pula ulama yang menetapkan keabsahannya. Di antaranya yaitu Syaikhul Islam, menyatakan, “Adapun mengenai kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, sebagian ulama mendustakan penetapan ini. Akan tetapi para pakar yang mengenalnya dan keadaannya, akan mengetahui bahwa semua ini merupakan perkataannya.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Kitab ini diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh Ali Abdillah.
(9) Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah.
(10) Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.
(11) Qanun At Ta’wil.
(12) Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini merupakan bantahan beliau terhadap sekte batiniyah. Keduanya telah terbit.
(13) Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali dengan tahqiq Muhammad Al Mu’tashim Billah Al Baghdadi.
(14) Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, diterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.
(15) Ar Risalah Alladuniyah.
(16) Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum muslimin di Indonesia. Para ulama terdahulu telah berkomentar banyak tentang kitab ini, di antaranya:
Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa. Mereka adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.” (Dinukil Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/334).
Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun penjelasan Anda tentang Abu Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya mendapatkan beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki kecerdasan akal dan pemahaman. Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan hampir seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama dan masuk ke dalam kancah para pejabat tinggi. Kemudian beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati dan ahli ibadah serta was-was syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran filsafat dan Al Hallaj (pemikiran wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh dia hampir tergelincir keluar dari agama ini. Ketika menulis Al Ihya’ beliau mulai berbicara tentang ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum mengenal betul dan tidak memiliki keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits palsu.” Imam Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya, “Adapun di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan terdapat kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala19/339-340).
Imam Subuki dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah (Lihat 6/287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al Ihya’ dalam kitabnya, Al Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al Ihya Minal Akhbar. Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya Ulumuddin. Beliau sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya dan menjelaskan derajat keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para penulis, khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin.
(17) Al Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya.
(18) Al Wasith.
(19) Al Basith.
(20) Al Wajiz.
(21) Al Khulashah. Keempat kitab ini adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang beliau tulis. Imam As Subki menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/224-227.
Aqidah dan Madzhab Beliau
Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al Wasith, Al Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk buku induk dalam mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”
Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.
Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak sulit menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu, kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya.
Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 110).
Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua perkara:
Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam aqidahnya.
Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).
Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan Neo-Platoisme. Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al Juhani 2/928-929). Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq kitab Bughyatul Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan,“Bantahan Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri. Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan bentuk usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 111).
Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari danMuslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian. Wallahu a’lam.”






























Daftar pustaka


Sumber:MajalahAsSunnahPenyusun:Ust.KholidSyamhudi,Lc.
Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id
Di kutip oleh yuli kusnanto heeehe