SEJARAH HIDUP
IMAM GHOZALI
DISUSUN OLEH :
Yuli Kusnanto
INSTITUT AGAMA ISLAM IMAM GHOZALI
( IAIIG ) KESUGIHAN 1 CILACAP
2013-2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT karena penulisan
makalah ini dapat diselesai kandengan baik. Makalah ini membahas tentang ke Ghozalian dan diharapkan dapat memberi pengetahuan dan menambah
wawasan bagi siapapun yang membaca makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini
tidak lepas dari peran serta berbagai pihak yang telah memberikan saran, maupun
masukan-masukan guna penyempurnaan makalah ini. Untuk itu kami mengucapkan
terimakasih yang sedalam-dalamnya. Akhir kata, kami meminta maaf apabila dalam
makalah ini terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu kami akan berupaya
selalu terbuka dan seobjektif mungkin terhadap kritik dan saran yang membangun
guna mempertimbangkan di masa-masa yang akan datang.
Cilacap, 20 Oktober 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2
Tujuan Penulisan ........................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Sejarah Hidup Imam Ghozali .................................................................... 2
1.
Nama,
Nasab dan Kelahiran Beliau
2.
Kehidupan dan perjalanannya menuntut ilmu
3.
Penngaruh filsafat dan dirinya
4.
Polemik kejiwaan al ghozali
5.
Masa akhir hidupnya
6.
Karya-karyanya
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Imam Al Ghazali,
sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam
kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah
menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya
masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah
sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya,
hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.
1.2
TUJUAN PENULISAN
Dari rumusan masalah tersebut
di atas maka dapat di ambil tujuan penulisan makalah ini yaitu
1.
Untuk mengetahui sejarah hidup Al-Ghozali
BAB II
PENDAHULUAN
A.
Sejarah Hidup Imam Al
Ghazali
1.
Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad
bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz
Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323
dan As Subki, Thabaqat Asy
Syafi’iyah6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al
Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah
Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam
Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al
Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi
Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu
Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan
nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada
pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya
ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam
Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.”Bahkan Ibnu Assam’ani
mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya
telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka
mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada
Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah
pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan
dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat
Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun
450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar
A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy
Syafi’iyah6/193
dan 194).
1.
Kehidupan dan
Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari
kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan
pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia
berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis
menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua
anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya
tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya
ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia
meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda
yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya
telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan
miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk
ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang
dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi
sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al
Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena
Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat
Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih.
Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit.
Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta
memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih),
beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di
majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk
diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al
Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang
ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari
fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian
berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan
menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat
Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain
Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat
baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq,
hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan
membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru
beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam
Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam
Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat
berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan
mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di
madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada
tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah
dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi
terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
2. Pengaruh
Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau
menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At
Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau
menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja
kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam
hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar
meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali
dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam
kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’
Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’
Ulumuddin.
Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya
di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang
merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits
palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya
dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi
sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran.
Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan
membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki
bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang
hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini
(Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia
membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya,
dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah
memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau
senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan
penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang
yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar
A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu
Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan
ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya.
Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami
Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’
Fatawa 4/164).
3.
Polemik Kejiwaan Imam
Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya
congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin)
yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan
tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul
Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad
sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa
hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf
di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat
Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang
dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya
Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan
mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid
rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan
bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan
kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.”(Dinukil oleh Adz
Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An
Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di
Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu
menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa
lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama
di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz
Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau
dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang
ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah
beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya
untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama
untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al
Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan
shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
5. Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari
hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada
akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan
ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau
berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau
belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa
orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau
dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada
subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa
kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di
kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui
Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau
meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz
Dzahabi dalamSiyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di
kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan
di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).
6.
Karya-karyanya
Nama karya beliau ini
diambil secara ringkas dari kitab Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, karya
Dr. Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud 2/623-625, Thabaqat Asy Syafi’iyah
6/203-204
Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau
sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal ialah:
Pertama, dalam masalah ushuluddin dan aqidah:
1. Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul
Qur’an.
2. Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’
Ulumuddin pada jilid pertama.
3. Al Iqtishad Fil I’tiqad.
4. Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para
filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
5. Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.
Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf,
beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang
terkenal, di antaranya:
(1) Al Mustashfa Min Ilmil Ushul. Merupakan kitab yang
sangat terkenal dalam ushul fiqih. Yang sangat populer dari buku ini ialah
pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalamnya. Dalam kitab ini Imam Ghazali
membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan pembahasan ushul fikih
dengan pembahasan ilmu kalam dalam pernyataannya, “Para ahli
ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali memasukkan pembahasan kalam ke
dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah menguasainya. Sehingga kecintaannya
tersebut telah membuatnya mencampur adukkannya.” Tetapi kemudian beliau
berkata, “Setelah kita mengetahui sikap keterlaluan mereka
mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang perlu menghilangkan dari
hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan dari sesuatu yang sudah
menjadi kebiasaan sangatlah sukar……” (Dua perkataan beliau ini dinukil dari penulis Mauqif
Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 17 dan 18).
Lebih jauh pernyataan beliau dalam Mukaddimah manthiqnya, “Mukadimah
ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan juga bukan mukadimah khusus untuknya.
Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu. Maka siapa pun yang tidak memiliki hal
ini, tidak dapat dipercaya pengetahuannya.” (Mauqif
Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 19).
Kemudian hal ini dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata, “Ini
tertolak, karena setiap orang yang akalnya sehat, maka berarti dia itu
manthiqi. Lihatlah berapa banyak para imam yang sama sekali tidak mengenal ilmu
manthiq!” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam
Nubala 19/329). Demikianlah, karena para sahabat juga tidak mengenal
ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih baik dari para
ahli manthiq.
(2) Mahakun Nadzar.
(3) Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq dan
telah dicetak.
(4) Ma’ariful Aqliyah. Kitab ini dicetak
dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.
(5) Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.
(6) Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Telah dicetak.
(7) Mizanul Amal. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqiq
Sulaiman Dunya.
(8) Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi. Oleh para ulama,
kitab ini diperselisihkan keabsahan dan keontetikannya sebagai karya Al
Ghazali. Yang menolak penisbatan ini, diantaranya ialah Imam Ibnu Shalah dengan
pernyataannya, “Adapun kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi,
bukanlah karya beliau. Aku telah melihat transkipnya dengan khat Al Qadhi
Kamaluddin Muhammad bin Abdillah Asy Syahruzuri yang menunjukkan, bahwa hal itu
dipalsukan atas nama Al Ghazali. Beliau sendiri telah menolaknya dengan kitab
Tahafut.” (Adz Dzahabi dalamSiyar A’lam Nubala 19/329).
Banyak pula ulama yang menetapkan keabsahannya. Di antaranya
yaitu Syaikhul Islam, menyatakan, “Adapun
mengenai kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, sebagian ulama mendustakan
penetapan ini. Akan tetapi para pakar yang mengenalnya dan keadaannya, akan
mengetahui bahwa semua ini merupakan perkataannya.” (Adz Dzahabi dalam Siyar
A’lam Nubala 19/329). Kitab ini diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh Ali
Abdillah.
(9) Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah.
(10) Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati
An Nafsi.
(11) Qanun At Ta’wil.
(12) Fadhaih Al Bathiniyah dan Al
Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini merupakan bantahan beliau terhadap sekte batiniyah.
Keduanya telah terbit.
(13) Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab ini telah
diterbitkan berulang kali dengan tahqiq Muhammad Al Mu’tashim Billah Al
Baghdadi.
(14) Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus
Salikin,
diterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.
(15) Ar Risalah Alladuniyah.
(16) Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang cukup
terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum muslimin di Indonesia.
Para ulama terdahulu telah berkomentar banyak tentang kitab ini, di antaranya:
Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid
telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak
kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat
dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa. Mereka adalah kaum yang memandang
kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.” (Dinukil Adz Dzahabi
dalam Siyar A’lam Nubala 19/334).
Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun
penjelasan Anda tentang Abu
Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya
mendapatkan beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki kecerdasan
akal dan pemahaman. Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan hampir
seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama dan masuk ke dalam
kancah para pejabat tinggi. Kemudian beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan
ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati dan ahli ibadah serta
was-was syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran filsafat dan Al Hallaj
(pemikiran wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh
dia hampir tergelincir keluar dari agama ini. Ketika menulis Al Ihya’ beliau
mulai berbicara tentang ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum
mengenal betul dan tidak memiliki keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat
kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits palsu.” Imam Adz Dzahabi
mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya, “Adapun di
dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan terdapat
kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara
jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz Dzahabi dalam Siyar
A’lam Nubala19/339-340).
Imam Subuki dalam Thabaqat Asy
Syafi’iyah (Lihat 6/287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat
dalam kitab Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui sanadnya. Abul
Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al
Ihya’ dalam kitabnya, Al Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi
Al Ihya Minal Akhbar. Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya
Ulumuddin.
Beliau sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya dan menjelaskan derajat
keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi
dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para penulis, khathib, pengajar dan para
penceramah dalam mengambil hal-hal yang terdapat dalam kitab Ihya
Ulumuddin.
(17) Al Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang
banyak menjelaskan sisi biografinya.
(18) Al Wasith.
(19) Al Basith.
(20) Al Wajiz.
(21) Al Khulashah. Keempat kitab ini
adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang beliau tulis. Imam As Subki
menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/224-227.
Aqidah dan Madzhab Beliau
Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i.
Nampak dari karyanya Al Wasith, Al Basith dan Al
Wajiz.
Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk buku induk
dalam mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah.
Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh
Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”
Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur
sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam
membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya.
Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu beliau
menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al
Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan
dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah
sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab
Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup
mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan
kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting menyatunya
Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.
Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak
sulit menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu,
kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat dalam
kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya.
Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang
Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan
seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh
karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau
tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi
beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof
bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul
Murtad hal. 110).
Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau seperti Misykatul
Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al
Maqshad Al Asna, Jawahirul Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui
bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang sebelumnya. Syaikh Dr.
Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al Ghazali dengan
menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua perkara:
Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga
aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya.
Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi
seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang setara
pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan
rahasia dalam aqidahnya.
Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang
selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan
pendapat para filosof saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan
tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah
Minal Asyariyah 2/628).
Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud)
menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran Al Ghazali,
bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam
filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam agama-agama
kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan Neo-Platoisme.
Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi Wal
Ahzab Al Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al Juhani 2/928-929). Sebenarnya
inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu Sina dan
Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq kitab Bughyatul
Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan,“Bantahan
Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat
dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun
beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri. Ketika
tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang yang
berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan bentuk
usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash dengan
tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai
dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul
Murtad hal. 111).
Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau
kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu
kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari danMuslim. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena
banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga
banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak
hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof
memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya
beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya
dalam keadaan demikian. Wallahu a’lam.”
Daftar pustaka
Sumber:MajalahAsSunnahPenyusun:Ust.KholidSyamhudi,Lc.
Di kutip oleh yuli kusnanto heeehe